Berbicara… mengatakan secara verbal apa yang aku rasakan pada suami tidak memberikan impuls apapun padanya. Untaian kalimat yang kusampaikan sama sekali tidak menyentuh nuraninya sebagai seorang suami. Ungkapan hatiku yang kukirimkan lewat email karena saat ini kami jauh pun lagi2 tidak membuatnya menyadari betul seperti apa kalimat2nya sudah memporak-porandakan hati istrinya sendiri. Sekali lagi, kusampaikan isi hatiku pada suamiku lewat ‘surat’ ini, semoga kali ini dia tahu, benar2 menyadari… bahwa aku tidak sedang bercanda. Sakit hati itu ada.
“Mas, sebelumnya aku minta maaf… atas semua sikap, sifat dan perkataanku yang selama ini mungkin tidak baik sampai akhirnya mengantarkanku pada sebuah moment tidak menyenangkan buatku sendiri. Aku minta maaf karena saat ini aku masih banyak kekurangan menjadi seorang istri,mennjadi pendamping hidupmu.
Aku sadar, tidak menutup mata. Selama ini ada banyak yang kau berikan untukku, ada banyak yang telah kau korbankan demi aku. Aku bersyukur atas karunia jodohku yang baik, yang mau melakukan banyak hal untuk kebahagiaanku … kamu, Mas. Untuk itu, aku mengucapkan terima kasih, meski sesungguhnya kebaikanmu tidak bisa hanya dibalas dengan ucapan saja.
Menikah denganmu, menjadi istrimu adalah hal terindah yang akhirnya bisa menjadi kenyataan setelah kita melewati masa pacaran setahun lebih. Yang aku bayangkan dalam otakku adalah sosokmu selain sebagai figur WAJIB seorang suami yang penyayang, lembut, tanggung jawab pada istri dan keluarga yang hendak kau bangun, jujur, setia dan menjaga teguh komitmen pernikahan… aku juga menginginkan sosok kakak, sahabat paling dekat sekaligus figur ayah kutemui dalam dirimu. Tapi itu keinginan yang terlalu idealis. Mungkin tuntutanku terlalu banyak, seperti yang kau keluhkan padaku. Okelah, setidaknya figur suami dan seorang kakak bisa kau penuhi. Lebih sempit lagi, figur suami-lah yang WAJIB kau penuhi, mas. Aku gak terlalu rewel kan untuk hal ini ?
Menjadi seorang suami menurut pengetahuanku yang sempit adalah menjadi pelindung bagi istrinya. Kewajibanmu sebagai suami pada istri semestinya kau sudah tahu dengan jelas, Mas. Yang ingin (lagi) kuungkapkan padamu adalah aku ingin kau menghilangkan sikap kasar (secara verbal) dan dinginmu padaku. Sejak pacaran aku sudah sering mengingatkan, kendalikan ucapanmu ketika kau emosi. Ingat berapa kali kau sakiti aku secara verbal, kau pertaruhkan komitmen kita ketika emosimu melonjak tinggi ? kalau kau lupa, aku masih ingat, Mas. Empat kali kejadian memukul telak perasaanku. Rasanya sakit. Sangat sakit. Aku menangis… bukan sekedar menangis cengeng. Dan ini bukan sekedar lip service sekedar mengatakan ‘sakit’ padamu. Meski tak mungkin kau lakukan (tapi jika kau mau), kau bisa bertanya pada Bunda yang melahirkanmu, apakah pantas seorang suami sedikit2 mengumbar kalimat kasar ketika dia marah ? berkata kasar pada istri dan menggoyahkan komitmen berdua ?
Asal kau tahu, Mas. Menikah denganmu sama sekali tidak pernah terbersit ‘penyesalan’ dalam hatiku. Tapi aku seringkali kau suguhi dengan pengakuan penyesalan. Berulang kali kau katakan ‘di luar ada lebih banyak yang lebih baik’. Astaghfirullah… nyebut, Mas. Dalam keadaan sadarkah kau ucapkan itu ? ya, kau sangat sadar. Aku tahu itu. Dan kau tidak pernah merasa bersalah mengatai istrimu seperti itu. Tanyakan pada Bundamu, Mas… pantaskah seorang suami yang bijak berkata seperti itu ? Pantaskan seorang suami menyakiti istrinya seperti itu ? Aku kecewa… mohon diingat, BUKAN karena menikahimu tapi karena perlakuanmu padaku yang buruk. Melukai sebegitu dalam namun tak seujung kuku pun kau ada perasaan menyesal.
Yang aku inginkan sekarang adalah Allah SWT segera memberikan kepercayaan-Nya pada kita untuk mendapatkan keturunan. Semua orang menasehati, ‘kalo mau cepet hamil, selain wajib berdoa dan berusaha, jangan mikir yang berat2, mbak… jangan stress, juga kecapekan.’ Petuah-petuah macam itu jadi mengingatkanku, saat ini aku masih tak habis pikir kenapa Mas bisa memperlakukan aku seperti itu. Sedikit2 marah, mbentak, ato luweh2 kalo orang jawa bilang. Mas, aku minta, tolong hargai aku sebagai seorang istri. Perlakukan aku layaknya seorang suami bijak memperlakukan istrinya dengan baik. Aku tidak mau tiap hari harus berstatus ‘WASPADA’ pada kemarahanmu yang kadang muncul mendadak. Aku mau hidup tenang berkeluarga.
Aku ingin keluarga sakinah yang rukun. Aku ingin Mas bisa menerimaku apa adanya, tanpa sedikit2 membandingkan aku dengan wanita lain. Karena sekalipun aku tidak pernah dan tidak akan membandingkan kau dengan lelaki manapun. Aku menerima Mas apa adanya, tanpa kecuali, tapi jangan bersikap kasar dan egois. Bagiku suami yang mencintaiku, menerimaku apa adanya, penyayang, jujur dan setia pada komitmen pernikahan kita sudah lebih dari cukup, Mas. Jadilah seperti itu, Mas.
Aku minta… dengan sangat, dengan hormat.. kalopun egomu sebagai lelaki menganggap aku pantas mendapat hukuman darimu, ingatlah janjimu pada papa saat Ijab Qabul, didepan penghulu, disaksikan keluarga besar, janjimu pada Allah bahwasananya kau akan menjadi Imamku yang baik dan bertanggung jawab, mengajari istri, mendidik istri bukan dengan kekerasan verbal, tapi dengan kesabaran. Istri juga selayaknya kau hormati, Mas… Hargai dan perlakukan dia dengan penuh kasih sayang. Aku nggak mau dan kapok dikit2 dibentak. Apa2 serba salah… Sudah cukup kau sakiti aku dengan hal2 kasar. Jangan ada lagi… Tolong…
Kalau Mas mencintaiku, seharusnya Mas takut melukai perasaanku. Mas membutuhkan aku. Mas ada perasaan ingin menjaga, melindungi dan menyayangiku. Mas ada rasa takut kehilangan aku. Hatiku bukan baja yang bisa terus digempur kekerasan ato di kondisikan dingin seperti dalam freezer. Aku, manusia, Mas. Yang bisa merasa sakit, beringsut ketika terus-menerus disakiti….
Aku mencintaimu, Mas… mencintaimu tanpa syarat… tapi bukan berarti aku mau dan rela untuk dikasari verbal ato diperlakukan cuek/dingin. Kita menikah untuk tujuan ibadah dan dalam ibadah setauku nggak ada unsur kekerasan, baik verbal apalagi fisik. Berlaku cuek satu sama lain.
Aku mencintaimu, Mas… dulu, sekarang, nanti, kelak dan seterusnya. Semoga kau juga sama… Dan tolong, bukalah pintu hatimu untuk bisa benar2 memahami rasa sakitku.
With Love… Piti.